Sabtu, 24 April 2010

Polemik Tata Susunan Perundang-undangan Indonesia

Perumusan suatu tata susunan atau hierarki sumber tertib hukum dan peraturan perundang-undangan di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1950 dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 hingga saat ini. Dan produk perundang-undangan yang menerangkan mengenai sumber tertib hukum dan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang terakhir dan hingga saat ini belum tergantikan adalah Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sebelum muncul UU No. 10 tahun 2004 ini, telah ada Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPRGR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia; dan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.

Namun, dari produk perundang-undangan yang memperjelas tata susunan dari sumber hukum di Indonesia tersebut, belum ada yang memenuhi kriteria yang tepat sebagai perunut hierarki peraturan perundang-undangan. Bila merujuk kepada teori para ahli hukum mengenai hierarki norma hukum seperti Teori Hans Kelsen, Stufentheorie yang menyatakan bahwa norma hukum itu berjenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan), dalam arti suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, kemudian norma yang lebih tinggi tersebut bersumber dan berdasar pada norma yanglebih tinggi darinya, demikian seterusnya hingga sampai pada Norma Dasar (Grundnorm) yang bersfiat fiktif dan hipotesis karena ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sehingga menjadi gantungan bagi norma dibawahnya, tata susunan sumber hukum di Indonesia telah memenuhi kriteria tersebut.
Begitu pula dengan teori Hierarki Norma Hukum negara (die theori vom Stufenordung der Rechtsnormen) dari Hans Nawiasky yang memiliki teori yang hampir sama dengan Hans Kelsen dengan perbedaan lingkup normanya yakni Hans Newiasky menitikberatkan pada Norma Hukum negara sedangkan Hans Kelsen pada Norma hukum saja. Namun Hans Newiasky mengelompokan norma hukum negara tersebut menjadi Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental negara), Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar negara/Aturan pokok negara), Formell Gesetz (Undang-undang) dan Verordnung & Autonome Satzung (Aturan pelaksana dan Aturan Otonom).

Aplikasi kedua teori tersebut dalam hierarki sumber hukum di Indonesia terbukti dari susunan normatif yang terstruktur dimulai dari Pancasila yang berada dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai Grundnorm atau Staatsfundamentalnorm berada ditempat teratas dari tata hukum di Indonesia yang memiliki kedudukan norma hukum tertinggi yang bersifat pre-supposed dan merupakan landasan dasar filosofis yang bersifat garis besar dan bersifat umum serta norma hukum tunggal. Kemudian Batang tubuh UUD 1945 yang merupakan Staatsgrundgestz atau Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara yang menjadi garis besar kebijaksanaan negara dalam tata cara membentuk peraturan perundang-undangan yang mengikat umum dan norma hukum tunggal. Staatsgrundgesetz tak ahanya pada Batang tubuh UUD 1945 saja melainkan terdapat dalam ketetapan MPR.

Oleh karena Pancasila adalah Staatsfundamentalnorm atau Norma Dasar negara dan batang tubuh UUD 1945 dan Ketetapan MPR adalah Staatsgerundgesetz yang merupakan Aturan Dasar Negara/Aturan pokok negara, menjadikan kedua kelompok norma ini tidak dimasukan dalam tata susunan perundang-undangan. Karena sifat kedua kelompok norma tersebut masih berupa garis pokok yang bersifat umum dan berupa norma tunggal yakni norma yang berdiri sendiri yang isinya berupa suruhan (das sollen) serta masih belum dilekatkan pada suatu sanksi. Kedua kelompok norma ini hanya menjadi rujukan atau sumber dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang ada yaitu Formell gesetz atau Undang-Undang dan Verordnung & Autonome Satzung. Karena Pancasila sebagai norma dasar negara dan Batang tubuh UUD 1945 serta Ketetapan MPR sebagai Staatsgerundgesetz yang merupakan norma tertinggi dalam suatu tata susunan sumber hukum, maka seharusnya tidak dimasukan kedalam peraturan perundang-undangan seperti halnya yang telah diatur dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 dan UU No. 10 tahun 2004.

Kemudian yang menjadi tata susunan atau hierarki yang seharusnya dirumuskan dalam Undang-undang yang mengatur tentang tata susunan peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah dimulai dari undang-undang (Formell Gesetz) karena norma tersebut telah dibuat secara terperinci dan konkrit serta dapat berlaku di masyarakat. Bila dilihat dari unsur norma menurut Ruiter yang mana suatu norma harus mengandung: a. cara keharusan berprilaku disebut operator norma, b. seseorang atau kelompok orang addresat disebut subyek norma, c. perilaku yang dirumuskan disebut obyek norma, dan d. syarat-syarat disebut kondisi norma, maka dalam norma Formell gesetz sisi addresat atau subjek norma dan hal yang diatur norma atau obyek norma, Undang-undang harus bersifat umum dan abstrak yang mana berlaku bagi masyarakat luas serta jelas apa yang diatur dalam Undang-undang tersebut. Dan bila ditinjau dari segi norma daya laku nya, Undang-undang harus bersifat terus-menerus (dauerhaftig). Namun terkadang, isi dalam undang-undang tidak hanya memiliki bentuk sebagai norma tunggal saja, melainkan ada juga yang berbentuk norma berpasangan antara norma primer dan sekunder. Dan bentuk dari Formell Gesetz di Indonesia tak hanya merujuk pada UU saja seperti yang termaktub dalam Pasal 20 UUD NRI 1945 amandemen dimana DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan bersama Presiden, namun juga terdapat Peraturan pemerintah sebagai pengganti Undang-undang yang bersumber pada Pasal 22 ayat 1 UUD NRI 1945 amandemen yang menyatakan dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan Peraturan pemerintah sebagai penggati UU (PERPU). Sehingga kedudukan UU dan Perpu dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah sejajar. Oleh karena itu, kedudukan UU/Perpu sebagai suatu tata susunan peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak lah dapat dipisahkan satu sama lain seperti halnya dalam Ketetapan MPR No. III/MPR/2000.

Setelah diawali dengan undang-undang, peraturan perundang-undangan haruslah memuat Verordnung dan Autonome Satzung yang mana dalam pelaksanaannya bersumber dari atribusi kewenangan dan delegasi kewenangan dari norma hukum yang berada diatasnya, dalam hal ini adalah undang-undang. Untuk peraturan perundang-undangan di Indonesia, Verordnung dan Autonome Satzung ini dapat ditemukan pada Peraturan Pemerintah (PP) sebagaimana yang diatur dalam pasal 5 ayat 2 UUD NRI 1945 yang mana Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Kemudian untuk melengkapi peraturan perundang-undangan di Indonesia, dalam UU yang mengatur mengenai hal tersebut seharusnya disebutkan dengan jelas apabila terdapat tambahan peraturan perundang-undangan lainnya yang berasal dari lembaga negara atau pemerintah yang mendapat katribusi kewenangan ataupun delegasi kewenangan seperti halnya Bank Indonesia yang dapat membuat Peraturan Bank Indonesia (PBI) atas dasar Pasal 1 angka 8 dalam UU No. 23 tahun 1999 yang telah diubah dengan UU no. 3 tahun 2004 jo. Pasal 23 D UUD NRI 1945 amandemen, melalui atribusi kewenangan. Ataupun Gubernur sebagai pemerintah daerah yang memperoleh delegasi kewenangan untuk membuat peraturan perundang-undangan.Dan oleh karena Verordnung dan Autonome Satzung berasal dan bersumber dari norma hukum di atasnya, maka bentuk dan isinya tak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya

Senin, 12 April 2010

Kekuasaan Kehakiman

Kekuasaan Kehakiman



I. Lingkup Kekuasaan Kehakiman

Pengadilan adalah lembaga kehakiman yang menjamin tegaknya keadilan melalui penerapan undang-undang dan kitab undang-undang (wet en wetboeken). Lembaga peradilan tumbuh dalam sejarah manusia mulai dari bentuk dan sistemnya yang sederhana. Lama-lama bentuk dan sistem peradilan tumbuh menjadi bentuk yang kompleks dan modern. Oleh karena itu seperti apa yang dikatakan oleh Prof. Djokosoetono, ada empat macam sekaligus empat tahap rechtspraak yang dikenal dalam sejarah, yaitu:

I. Rechtspraak naar ongescreeven recht (hukum adat), yaitu pengadilan yang peradilan yang didasarkan atas hukum yang tidak tertulis, seperti pengadilan adat.

II. Rechtspraak naar precedenten, yaitu pengadilan yang didasarkan atas precedent atau putusan-putusan hakim terdahulu, seperti yang dipraktekkan di Inggris.

III. Rechtspraak naar rechtsboeken, yaitu pengdilan yang didasarkan atas kitab-kitab hukum, seperti dalam praktik dengan pengadilan agama (Islam) yang menggunakan kompedium atau kitab-kitab ulama ahlussunah wal’jamaah atau ulama syi’ah

IV. Rechtspraak naar wetboeken, yaitu pengadilan yang didasarkan atas ketentuan undang-undang atau pun kitab undang-undang. Pengadilan seperti ini merupakan penjelmaan dari paham hukum poitif atau modern wetgeving yang mengutamakan peraturan perundang-undangan yang tertulis (schreven wetgeving)[1]

Struktur dari lembaga pengadilan dapat bertingkat-tingkat sesuai dengan sifat perkara dan bidang hukum terkait. Ada perkara yang cukup diselesaikan melalui peradilan pertama sekaligus terakhir, ada juga perkara yang diselesaikan melalui dua tingkat, dan ada pula perkara yang diselesaikan melalui tiga tahap, yaitu tingkat pertama, tingkat banding dan tingkat kasasi.

Dalam sistem peadilan di Indonesia dewasa ini, terdapat empat lingkungan peradilan yang masing-masing memiliki lembaga-lembaga pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding. Pada tingkat kasasi, semuanya berpuncak pada mahkamah Agung. Pengadilan pada tingkat pertama dan tingkat banding itu antara lain yaitu:

1. Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dalam lingkup peradilan umum

2. Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama dalam lingkup peradilan agama

3. Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dalam lingkungan peradilan tata usaha negara

4. Pengadilan Militer dan Pengadilan Tinggi Militer dalam lingkungan peradilan Militer

Disamping itu dewasa ini dikenal pula pengadilan khusus, baik yang bersifat tetap atau Ad Hoc , diantaranya yaitu:

1. Pengadilan Hak Asasi Manusia(HAM)

2. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

3. Pengadilan Niaga

4. Pengadilan Anak

5. Pengadilan Perikanan

6. Pengadilan Hubungan Kerja industrial

7. Pengadilan Pajak

8. Mahkamah Syar’iyah Nangro Aceh Darusalam

9. Pengadilan Adat Papua

Disamping itu ada pula badan-badan quasi yang berbentuk Ad Hoc yaitu Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Banding Merk, dan lain-lain.

II.2 Prinsip Pokok Kekuasaan Kehakiman

Secara umum ada dua prinsip yang dipandang sangat pokok dalam dunia peradilan,yaitu:

I. The principle of judicial independence

II.The principle of judicial impartiality

Kedua prinsip ini diakui sebagai syarat pokok sistem di semua negara yang disebut hukum modern atau modern constitutional state. Sistem independen itu diwujudkan dalam sikap para hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara yang dihadapi. Independensi juga tercermin dalam hal-hal yang berkaitan dengan pengangkatan, masa kerja, pengembangan karir, sistem penggajian dan pemberhentian para hakim. Sedangkan prinsip kedua yaitu ketidakberpihakan. Dalam praktek, ketidakberpihakan mengandung arti dibutuhkannya hakim yang tidak saja bekerja secara imparsial tetapi juga terlihat bekerja secara imparsial.

Namun disamping dua prinsip tersebut, dari perspektif hakim sendiri berkembang pemikiran-pemikiran lain yang juga dianggap penting, seperti pada The Bongalore Principle,yaitu:

1) Independensi (Independence principle)

Dalam mengambil segala keputuan, hakim harus bersifat independen dan tidak boleh terpengaruh faktor-faktor dari unsur lain.

2) Ketidakberpihakan (Importality Principle)

Dalam proses menyelesaikan perkara, hakim harus mementingkan kepentingan umum dan tidak boleh bertendensi pada salah satu pihak.

3) Integritas (Integrity Princile)

Integritas hakim merupakan sikap batin yang mencerminkan keutuhan dan keseimbangan kepribadian setiap hakim sebagai pribadi dan sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas kewajibanya.

4) Kepantasan dan Kesopanan (Propierty Principle)

Kepantasan dan kesopanan merupakan norma kesusilaan pribadi dan antar pibadi yang tercermin dalam setiap perilaku hakim baik sebagai pribadi maupun sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas profesionalnya, yang menimbulka rasa hormat, kewibawaan dan kepercayaan.

5) Kesetaraan (Equality Principle)

Kesetaraan adalah prinsip yang menjamin perlakuan yang sama terhadap semua orang berdasarkan kemanusian yang adil dan beradab, tanpa membedakan satu dengan yang lainya atas dasar perbedaa SARA, kondisi sosial ekonomi, jenis kelamin, umur, pandangan politik ataupun alasan-alasan lain yang serupa.

6) Kecakapan dan Keseksamaan (Competence and Diligence Principle)

Kecakapan dan keseksamaan hakim adalah prasyarat penting dalam melaksanakan peradilan yang baik dan terpercaya. [2]

II.3 Stuktur Organisasi Kekuasaan Kehakiman

Dalam struktur organisasi kekuasaan kehakiman terdapat beberapa fungsi yang dilembagakan secara internal dan eksternal. Terkait dengan jabatan-jabatan kehakiman itu, terdapat pula jabatan-jabatan yaitu penyidik, penuntut umum, advokat yang juga diakui sebagai pejabat hukum. Di lingkungan pejabat penyidik terdapat polisi, jaksa, penyelidik komisi pemberantasan korupsi, dan penyidik pegawai negeri sipil. Sedangkan dalam penuntut umum terdapat jaksa penuntut umum dan komisi pemberantasan korupsi.

Sementara itu dalam lingkup internal lembaga pengadilan terdapat tiga jabatan fungsional yang dibedakan secara tegas,yaitu:Hakim, Panitera dan Pegawai administrasi lainya. Sementara itu dalam lembaga peradilan ada tiga pejabat yang memegang tampuk kepemimpinan yaitu Ketua pengadilan yang bersagutan, Panitera dan Sekretaris yang adang-kadang dirangkap oleh Panitera.

II.4 Jenis-Jenis Kekuasaan Kehakiman

Perubahan (Amandemen) Undang-Undang Dasar 1945 telah membawa perubahan alam kehidupan ketatanegaraan dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. erdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara ; dan Mahkamah Konstitusi.

II.4.1 Mahkamah Agung

Mahkamah agung Indonesia adalah Peradilan yang menganut "sistim kontinental" Yang berasal dari Perancis yaitu sistim kasasi.Dalam sistim tersebut, Mahkamah Agung merupakan Pengadilan kasasi yang bertugas membina keseragaman dalam penerapan hukum dan menjaga agar semua hukum dan Undang-Undang diseluruh wilayah negara ditetapkan secara tepat dan adil serta memiliki sifat yang netral dari intervensi pemerintah (independent).

Kedudukan, dan Fungsi

Menurut Undang-Undng No. 14 tahun 1970 tentang; "Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman" tanggal 17 Desember 1970, antara lain dalam pasal 10 ayat (2) disebutkan bahwa Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara tertinggi dalam arti Mahkamah Agung sebagai badan pengadilan kasasi (terakhir) bagi putusan-putusan yang berasal dari Pengadilan-pengadilan lain yaitu yang meliputi keempat lingkungan peradilan yang masing-masing terdiri dari:

1. Peradilan Umum;

2. Peradilan Agama;

3. Peradilan Militer;

4. Peradilan Tata Usaha Negara.

Bahkan Mahkamah Agung merupakan pengawas tertinggi atas perbuatan Hakim dari semua lingkungan peradilan. Sejak tahun 1970 tersebut Mahkamah Agung mempunyai Organisasi, administrasi dan keuangan sendiri. Mahkamah Agung menjalankan tugasnya dengan melakukan 5 fungsi yang sebenarnya sudah dimiliki sejak Hooggerechtshof, sebagai berikut:

1. Fungsi Paradilan;

2. Fungsi Pengawasan;

3. Fungsi Pengaturan;

4. Fungsi Memberi Nasehat;

5. Fungsi Administrasi.

II.4.2 Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul pada abad ke-20. Ditinjau dari aspek waktu, negara kita tercatat sebagai negara ke-78 yang membentuk MK sekaligus merupakan negara pertama di dunia pada abad ke-21 yang membentuk lembaga ini.

Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 menetapkan bahwa Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) merupakan salah satu lembaga negara yang mempunyai kedudukan setara dengan lembaga-lembaga negara lainnya, seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, Mahkamah Agung (MA), dan yang terakhir terbentuk yaitu Komisi Yudisial (KY). Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan salah satu lembaga yudikatif selain Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Pembentukan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan agar tersedia jalan hukum untuk mengatasi perkara-perkara yang terkait erat dengan penyelenggaraan negara dan kehidupan politik. Dengan demikian konflik yang terkait dengan kedua hal tersebut tidak berkembang menjadi konflik politik-kenegaraan tanpa pola penyelesaian yang baku, transparan, dan akuntabel, melainkan dikelola secara objektif dan rasional sehingga sengketa hukum yang diselesaikan secara hukum pula. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi sering disebut sebagai Lembaga Negara Pengawal Konstitusi atau The Guardian and The Interpreter of The Constitution.

Kewenangan MK

Pasal 24C ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menggariskan wewenang Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut:

  1. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
  2. Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Secara khusus, wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut diatur lagi dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dengan merinci sebagai berikut:

  1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
  2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia tahun 1945
  3. Memutus pembubaran partai politik
  4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum
  5. Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945

II.4.3 Komisi Yudisial

Seiring dengan tuntutan reformasi peradilan, pada Sidang Tahunan MPR tahun 2001 yang membahas amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, disepakati beberapa perubahan dan penambahan pasal yang berkenaan dengan kekuasaan kehakiman, termasuk di dalamnya Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Berdasarkan pada amandemen ketiga itulah dibentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang disahkan di Jakarta pada tanggal 13 Agustus 2004.

Wewenang Komisi Yudisial:

Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Tugas Komisi Yudisial:

  1. Mengusulkan Pengangkatan Hakim Agung

Komisi Yudisial mempunyai tugas:

a. Melakukan pendaftaran calon Hakim Agung;

b. Melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung;

c. Menetapkan calon Hakim Agung; dan

d. Mengajukan calon Hakim Agung ke DPR.

  1. Menjaga dan Menegakkan Kehormatan, Keluhuran Martabat Serta Perilaku Hakim

Komisi Yudisial mempunyai tugas:

a. Menerima laporan pengaduan masyarakat tentang perilaku hakim,

b. Melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim, dan

c. Membuat laporan hasil pemeriksaan berupa rekomendasi yang disampaikan kepada Mahkamah Agung dan tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR.

II.5 Kinerja Pengadilan Umum dalam Pemberantasan Korupsi

Berdasarkan pemantauan ICW selama setengah perjalanan tahun 2008 terdapat 94 perkara korupsi dengan 196 orang terdakwa yang diperiksa dan diputus (divonis) oleh pengadilan diseluruh Indonesia mulai dari tingkat pertama (Pengadilan Negeri = 72 perkara), banding (Pengadilan Tinggi= 7 perkara), kasasi (MA=15 perkara). Sedangkan nilai kerugian negara dari perkara yang diperiksa dan diputus pengadilan diperkirakan mencapai Rp 1,196 triliun.

Dari 196 terdakwa korupsi yang telah diperiksa dan diputus, sebanyak 104 terdakwa ( 53 %) divonis bebas/lepas oleh pengadilan. Hanya 92 terdakwa (47 %) yang akhirnya divonis bersalah. Namun dari 92 terdakwa korupsi yang akhirnya diputuskan bersalah tersebut, dapat dikatakan belum memberikan efek jera bagi para pelaku korupsi. Terdakwa yang divonis dibawah 1 tahun penjara adalah sebanyak 36 terdakwa (18,3 %). Diatas 1,1 tahun hingga 2 tahun sebanyak 40 terdakwa (20,4 % ) atau divonis 2,1 tahun hingga 5 tahun sebanyak 5 terdakwa (2,5 %) serta divonis 5,1 tahun hingga 10 tahun yaitu sebanyak 4 terdakwa (2,04 %). Hingga semester I berakhir belum ada terdakwa yang divonis diatas 10 tahun (0 %). Hal yang menarik tahun 2008, terdapat 7 terdakwa kasus korupsi yang divonis percobaan (3,57%). Secara rata-rata vonis penjara yang dijatuhkan oleh pengadilan umum adalah 6,43 bulan penjara. [3]

Terdapat beberapa hal yang perlu dicermati dari sejumlah perkara korupsi yang diperiksa dan diputus oleh pengadilan umum selama tahun 2008. Pertama, jumlah vonis bebas/lepas bagi terdakwa masih siginifikan. Kedua, terjadi trend banyak terdakwa yang divonis ringan sesuai batas minimal penjatuhan pidana yang ditentukan oleh Undang-Undang Korupsi. Berdasarkan Pasal 3 dalam UU 31 Tahun 1999 jo UU 20 Tahun 2001 disebutkan bagi pelaku korupsi yang terbukti bersalah maka dijatuhi pidana penjara paling sedikit 1 tahun penjara dan paling banyak 20 tahun penjara. Tercatat dari 92 terdakwa yang divonis bersalah, sebanyak 36 terdakwa atau lebih sepertiganya divonis hanya 1 tahun penjara. Dalam hal ini terlihat bahwa hakim cenderung menjatuhkan pidana pada batas minimal yang ditentukan. Jika UU tidak mengatur batas minimal setahun penjara (seperti yang diatur dalam RUU Tipikor versi pemerintah), bukan mustahil maka hakim banyak menjatuhkan vonis dibawah satu tahun atau hanya beberapa bulan penjara. Ketiga, fenomena hukuman percobaan dalam perkara korupsi. Pada semester I 2008 ditemukan adanya 7 terdakwa perkara korupsi yang divonis dengan hukuman percobaan. Terkesan ada upaya “pensiasatan” hukum yang dilakukan oleh hakim pengadilan dalam penjatuhan vonis. Umumnya mereka dijatuhi vonis 1 tahun penjara dengan masa percobaan 2 tahun. Dengan kondisi ini maka dapat dipastikan tidak perlu menjalani hukuman meskipun dinyatakan bersalah. Keempat, menempatkan diri sebagai institusi yang tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi.

Pengadilan Umum untuk sementara waktu tidak kompatibel bagi upaya-upaya hukum untuk mengungkapkan kasus-kasus korupsi dengan skala yang begitu beragam. Dan terbukti proses hukum atas kasus-kasus korupsi di pengadilan umum sejauh ini justru berujung pada sikap skeptis, bahkan anti-pati publik terhadap independensi peradilan di satu sisi, serta terhadap efektivitas penegakan hukum di bidang anti korupsi pada sisi lain.

II.6 Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dibentuk berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berada di lingkungan Peradilan Umum.[4] Oleh karena itu berdasarkan Keppres No. 59 tahun 2004, Pengadilan Tipikor berinduk pada Pengadilan Negeri (PN) dalam hal ini PN Jakarta Pusat sebagai sebuah pengadilan khusus. Meski berkedudukan di Jakarta, namun Pengadilan Tipikor mempunyai yurisdiksi untuk menerima dan memutus perkara korupsi di seluruh Indonesia yang diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Kewenangan dan tugas Pengadilan Tipikor diatur dalam Pasal 53 UU No.30 tahun 2002, yaitu memeriksa dan memutuskan perkara tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantas Korupsi (KPK).

Pada perkembangannya, keberadaan Pengadilan Tipikor akan mengalami perubahan. Sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006, Pengadilan Tipikor harus dibentuk dengan UU tersendiri, paling lambat tiga tahun sejak dikeluarkannya putusan MK itu.

Sesuai undang-undang, majelis hakim dalam perkara korupsi di Pengadilan Tipikor terdiri dari lima orang yang terdiri dari dua hakim karir (pengadilan negeri) dan tiga hakim ad hoc. Hakim karir Pengadilan Tipikor ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung. Dalam penjelasan Pasal 56 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002. Sedangkan hakim ad hoc diangkat oleh Presiden berdasarkan rekomendasi Ketua MA. Dari 20 orang hakim Pengadilan yang ada saat ini, sebelas orang diantaranya adalah hakim karir. Sedangkan sembilan orang lainnya adalah hakim ad-hoc.

Perkara korupsi diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tipikor dalam jangka waktu selambatnya 90 hari kerja. Dalam tahap banding, Pengadilan Tinggi wajib memeriksa dan memutuskan perkara dalam waktu maksimal 60 hari kerja. Pada tahap kasasi, Mahkamah Agung wajib memeriksa dan memutuskan paling lama 90 hari kerja.

II.7 Kinerja Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

Berdasarkan laporan pertama Pengadilan Tipikor semenjak berdirinya pada tahun 2004, yaitu Laporan Tahun 2006 dimana laporan ini tak hanya mencakup kegiatan Pengadilan Tipikor tahun 2006, tapi juga tahun 2004 dan 2005. Jumlah ini meningkat drastis di tahun berikutnya. Tahun 2005, jumlah perkara yang masuk mencapai 16 perkara. Sedangkan di tahun 2006, jumlah perkara yang masuk mencapai 25, atau meningkat 56 persen dari tahun sebelumnya. Kenaikan ini menurut Laporan Tahunan, merupakan cerminan peningkatan kegiatan KPK dan penghargaan atas integritas serta kerja keras Pengadilan Tipikor. [5]

Tak hanya perkara, penyelesaian perkara juga mengalami peningkatan 120 persen dari tahun sebelumnya. Meski demikian, jumlah sisa perkara pada akhir 2006 sedikit lebih banyak dibanding awal tahun.

Jumlah Perkara 2006

Sisa perkara awal tahun

Pendaftaran

Putus

Sisa perkara akhir tahun

7

25

22

10

sumber: Laporan Tahunan 2006 Pengadilan Tipikor

Perkembangan Jumlah Perkara 2004-2006

Keterangan

2004

2005

2006

Persentase perubahan 2005-2006 (%)

Persentase perubahan 2004-2006 (%)

tertunda di awal tahun

0

1

7

600

-

Pendaftaran perkara

1

16

25

56

2400

Penyelesaian perkara

0

10

22

120

-

Tertunda di akhir tahun

1

7

10

43

900

sumber : Laporan Tahunan 2006 Pengadilan Tipikor

Dari data di atas, kita dapat melihat adanya kemajuan kinerja pengadilan tipikor dibandingkan dengan pengadilan umum dalam hal penanganan korupsi. Kinerja pengadilan tipikor dapat mendongkrak harapan baru bahwa pemberantasan korupsi bisa dilakukan. Pasalnya, hampir semua kasus korupsi yang dituntut KPK ke pengadilan tipikor divonis bersalah. Hal ini berbeda dengan kinerja pengadilan umum yang banyak meloloskan banyak kasus. Namun sayangnya, kinerja pengadilan khusus tipikor ini tidak didukung dengan undang-undang yang dapat menunjang kinerjanya agar lebih baik dan tidak terjadi dualisme penanganan kasus korupsi yang dalam prakteknya menyebabkan munculnya diskriminasi dan ketidakpastian hukum dalam pemberantasan korupsi.



[1] Asshiddiqie, Prof. Dr. Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara.Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.2006 hlm. 48

[2] Asshiddiqie, Prof. Dr. Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara.hlm. 53-55

[3] http://antikorupsi.org/indo/content/view/12999/6/ , diakses tanggal 10 Mei 2009 pukul 11.00 WIB

[4] Maheka, Arya. Mengenali dan Memberantas Korupsi. Jakarta: Komisi Pemberantas Korupsi, hlm. 41

[5] http://hukumonline.com/detail.asp?id=17117&cl=Berita diakses tanggal 12 Mei 2009 pukul 13.00 WIB