Perumusan suatu tata susunan atau hierarki sumber tertib hukum dan peraturan perundang-undangan di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1950 dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 hingga saat ini. Dan produk perundang-undangan yang menerangkan mengenai sumber tertib hukum dan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang terakhir dan hingga saat ini belum tergantikan adalah Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sebelum muncul UU No. 10 tahun 2004 ini, telah ada Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPRGR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia; dan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
Namun, dari produk perundang-undangan yang memperjelas tata susunan dari sumber hukum di Indonesia tersebut, belum ada yang memenuhi kriteria yang tepat sebagai perunut hierarki peraturan perundang-undangan. Bila merujuk kepada teori para ahli hukum mengenai hierarki norma hukum seperti Teori Hans Kelsen, Stufentheorie yang menyatakan bahwa norma hukum itu berjenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan), dalam arti suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, kemudian norma yang lebih tinggi tersebut bersumber dan berdasar pada norma yanglebih tinggi darinya, demikian seterusnya hingga sampai pada Norma Dasar (Grundnorm) yang bersfiat fiktif dan hipotesis karena ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sehingga menjadi gantungan bagi norma dibawahnya, tata susunan sumber hukum di Indonesia telah memenuhi kriteria tersebut.
Begitu pula dengan teori Hierarki Norma Hukum negara (die theori vom Stufenordung der Rechtsnormen) dari Hans Nawiasky yang memiliki teori yang hampir sama dengan Hans Kelsen dengan perbedaan lingkup normanya yakni Hans Newiasky menitikberatkan pada Norma Hukum negara sedangkan Hans Kelsen pada Norma hukum saja. Namun Hans Newiasky mengelompokan norma hukum negara tersebut menjadi Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental negara), Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar negara/Aturan pokok negara), Formell Gesetz (Undang-undang) dan Verordnung & Autonome Satzung (Aturan pelaksana dan Aturan Otonom).
Aplikasi kedua teori tersebut dalam hierarki sumber hukum di Indonesia terbukti dari susunan normatif yang terstruktur dimulai dari Pancasila yang berada dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai Grundnorm atau Staatsfundamentalnorm berada ditempat teratas dari tata hukum di Indonesia yang memiliki kedudukan norma hukum tertinggi yang bersifat pre-supposed dan merupakan landasan dasar filosofis yang bersifat garis besar dan bersifat umum serta norma hukum tunggal. Kemudian Batang tubuh UUD 1945 yang merupakan Staatsgrundgestz atau Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara yang menjadi garis besar kebijaksanaan negara dalam tata cara membentuk peraturan perundang-undangan yang mengikat umum dan norma hukum tunggal. Staatsgrundgesetz tak ahanya pada Batang tubuh UUD 1945 saja melainkan terdapat dalam ketetapan MPR.
Oleh karena Pancasila adalah Staatsfundamentalnorm atau Norma Dasar negara dan batang tubuh UUD 1945 dan Ketetapan MPR adalah Staatsgerundgesetz yang merupakan Aturan Dasar Negara/Aturan pokok negara, menjadikan kedua kelompok norma ini tidak dimasukan dalam tata susunan perundang-undangan. Karena sifat kedua kelompok norma tersebut masih berupa garis pokok yang bersifat umum dan berupa norma tunggal yakni norma yang berdiri sendiri yang isinya berupa suruhan (das sollen) serta masih belum dilekatkan pada suatu sanksi. Kedua kelompok norma ini hanya menjadi rujukan atau sumber dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang ada yaitu Formell gesetz atau Undang-Undang dan Verordnung & Autonome Satzung. Karena Pancasila sebagai norma dasar negara dan Batang tubuh UUD 1945 serta Ketetapan MPR sebagai Staatsgerundgesetz yang merupakan norma tertinggi dalam suatu tata susunan sumber hukum, maka seharusnya tidak dimasukan kedalam peraturan perundang-undangan seperti halnya yang telah diatur dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 dan UU No. 10 tahun 2004.
Kemudian yang menjadi tata susunan atau hierarki yang seharusnya dirumuskan dalam Undang-undang yang mengatur tentang tata susunan peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah dimulai dari undang-undang (Formell Gesetz) karena norma tersebut telah dibuat secara terperinci dan konkrit serta dapat berlaku di masyarakat. Bila dilihat dari unsur norma menurut Ruiter yang mana suatu norma harus mengandung: a. cara keharusan berprilaku disebut operator norma, b. seseorang atau kelompok orang addresat disebut subyek norma, c. perilaku yang dirumuskan disebut obyek norma, dan d. syarat-syarat disebut kondisi norma, maka dalam norma Formell gesetz sisi addresat atau subjek norma dan hal yang diatur norma atau obyek norma, Undang-undang harus bersifat umum dan abstrak yang mana berlaku bagi masyarakat luas serta jelas apa yang diatur dalam Undang-undang tersebut. Dan bila ditinjau dari segi norma daya laku nya, Undang-undang harus bersifat terus-menerus (dauerhaftig). Namun terkadang, isi dalam undang-undang tidak hanya memiliki bentuk sebagai norma tunggal saja, melainkan ada juga yang berbentuk norma berpasangan antara norma primer dan sekunder. Dan bentuk dari Formell Gesetz di Indonesia tak hanya merujuk pada UU saja seperti yang termaktub dalam Pasal 20 UUD NRI 1945 amandemen dimana DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan bersama Presiden, namun juga terdapat Peraturan pemerintah sebagai pengganti Undang-undang yang bersumber pada Pasal 22 ayat 1 UUD NRI 1945 amandemen yang menyatakan dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan Peraturan pemerintah sebagai penggati UU (PERPU). Sehingga kedudukan UU dan Perpu dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah sejajar. Oleh karena itu, kedudukan UU/Perpu sebagai suatu tata susunan peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak lah dapat dipisahkan satu sama lain seperti halnya dalam Ketetapan MPR No. III/MPR/2000.
Setelah diawali dengan undang-undang, peraturan perundang-undangan haruslah memuat Verordnung dan Autonome Satzung yang mana dalam pelaksanaannya bersumber dari atribusi kewenangan dan delegasi kewenangan dari norma hukum yang berada diatasnya, dalam hal ini adalah undang-undang. Untuk peraturan perundang-undangan di Indonesia, Verordnung dan Autonome Satzung ini dapat ditemukan pada Peraturan Pemerintah (PP) sebagaimana yang diatur dalam pasal 5 ayat 2 UUD NRI 1945 yang mana Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Kemudian untuk melengkapi peraturan perundang-undangan di Indonesia, dalam UU yang mengatur mengenai hal tersebut seharusnya disebutkan dengan jelas apabila terdapat tambahan peraturan perundang-undangan lainnya yang berasal dari lembaga negara atau pemerintah yang mendapat katribusi kewenangan ataupun delegasi kewenangan seperti halnya Bank Indonesia yang dapat membuat Peraturan Bank Indonesia (PBI) atas dasar Pasal 1 angka 8 dalam UU No. 23 tahun 1999 yang telah diubah dengan UU no. 3 tahun 2004 jo. Pasal 23 D UUD NRI 1945 amandemen, melalui atribusi kewenangan. Ataupun Gubernur sebagai pemerintah daerah yang memperoleh delegasi kewenangan untuk membuat peraturan perundang-undangan.Dan oleh karena Verordnung dan Autonome Satzung berasal dan bersumber dari norma hukum di atasnya, maka bentuk dan isinya tak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya
Namun, dari produk perundang-undangan yang memperjelas tata susunan dari sumber hukum di Indonesia tersebut, belum ada yang memenuhi kriteria yang tepat sebagai perunut hierarki peraturan perundang-undangan. Bila merujuk kepada teori para ahli hukum mengenai hierarki norma hukum seperti Teori Hans Kelsen, Stufentheorie yang menyatakan bahwa norma hukum itu berjenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan), dalam arti suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, kemudian norma yang lebih tinggi tersebut bersumber dan berdasar pada norma yanglebih tinggi darinya, demikian seterusnya hingga sampai pada Norma Dasar (Grundnorm) yang bersfiat fiktif dan hipotesis karena ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sehingga menjadi gantungan bagi norma dibawahnya, tata susunan sumber hukum di Indonesia telah memenuhi kriteria tersebut.
Begitu pula dengan teori Hierarki Norma Hukum negara (die theori vom Stufenordung der Rechtsnormen) dari Hans Nawiasky yang memiliki teori yang hampir sama dengan Hans Kelsen dengan perbedaan lingkup normanya yakni Hans Newiasky menitikberatkan pada Norma Hukum negara sedangkan Hans Kelsen pada Norma hukum saja. Namun Hans Newiasky mengelompokan norma hukum negara tersebut menjadi Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental negara), Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar negara/Aturan pokok negara), Formell Gesetz (Undang-undang) dan Verordnung & Autonome Satzung (Aturan pelaksana dan Aturan Otonom).
Aplikasi kedua teori tersebut dalam hierarki sumber hukum di Indonesia terbukti dari susunan normatif yang terstruktur dimulai dari Pancasila yang berada dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai Grundnorm atau Staatsfundamentalnorm berada ditempat teratas dari tata hukum di Indonesia yang memiliki kedudukan norma hukum tertinggi yang bersifat pre-supposed dan merupakan landasan dasar filosofis yang bersifat garis besar dan bersifat umum serta norma hukum tunggal. Kemudian Batang tubuh UUD 1945 yang merupakan Staatsgrundgestz atau Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara yang menjadi garis besar kebijaksanaan negara dalam tata cara membentuk peraturan perundang-undangan yang mengikat umum dan norma hukum tunggal. Staatsgrundgesetz tak ahanya pada Batang tubuh UUD 1945 saja melainkan terdapat dalam ketetapan MPR.
Oleh karena Pancasila adalah Staatsfundamentalnorm atau Norma Dasar negara dan batang tubuh UUD 1945 dan Ketetapan MPR adalah Staatsgerundgesetz yang merupakan Aturan Dasar Negara/Aturan pokok negara, menjadikan kedua kelompok norma ini tidak dimasukan dalam tata susunan perundang-undangan. Karena sifat kedua kelompok norma tersebut masih berupa garis pokok yang bersifat umum dan berupa norma tunggal yakni norma yang berdiri sendiri yang isinya berupa suruhan (das sollen) serta masih belum dilekatkan pada suatu sanksi. Kedua kelompok norma ini hanya menjadi rujukan atau sumber dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang ada yaitu Formell gesetz atau Undang-Undang dan Verordnung & Autonome Satzung. Karena Pancasila sebagai norma dasar negara dan Batang tubuh UUD 1945 serta Ketetapan MPR sebagai Staatsgerundgesetz yang merupakan norma tertinggi dalam suatu tata susunan sumber hukum, maka seharusnya tidak dimasukan kedalam peraturan perundang-undangan seperti halnya yang telah diatur dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 dan UU No. 10 tahun 2004.
Kemudian yang menjadi tata susunan atau hierarki yang seharusnya dirumuskan dalam Undang-undang yang mengatur tentang tata susunan peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah dimulai dari undang-undang (Formell Gesetz) karena norma tersebut telah dibuat secara terperinci dan konkrit serta dapat berlaku di masyarakat. Bila dilihat dari unsur norma menurut Ruiter yang mana suatu norma harus mengandung: a. cara keharusan berprilaku disebut operator norma, b. seseorang atau kelompok orang addresat disebut subyek norma, c. perilaku yang dirumuskan disebut obyek norma, dan d. syarat-syarat disebut kondisi norma, maka dalam norma Formell gesetz sisi addresat atau subjek norma dan hal yang diatur norma atau obyek norma, Undang-undang harus bersifat umum dan abstrak yang mana berlaku bagi masyarakat luas serta jelas apa yang diatur dalam Undang-undang tersebut. Dan bila ditinjau dari segi norma daya laku nya, Undang-undang harus bersifat terus-menerus (dauerhaftig). Namun terkadang, isi dalam undang-undang tidak hanya memiliki bentuk sebagai norma tunggal saja, melainkan ada juga yang berbentuk norma berpasangan antara norma primer dan sekunder. Dan bentuk dari Formell Gesetz di Indonesia tak hanya merujuk pada UU saja seperti yang termaktub dalam Pasal 20 UUD NRI 1945 amandemen dimana DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan bersama Presiden, namun juga terdapat Peraturan pemerintah sebagai pengganti Undang-undang yang bersumber pada Pasal 22 ayat 1 UUD NRI 1945 amandemen yang menyatakan dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan Peraturan pemerintah sebagai penggati UU (PERPU). Sehingga kedudukan UU dan Perpu dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah sejajar. Oleh karena itu, kedudukan UU/Perpu sebagai suatu tata susunan peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak lah dapat dipisahkan satu sama lain seperti halnya dalam Ketetapan MPR No. III/MPR/2000.
Setelah diawali dengan undang-undang, peraturan perundang-undangan haruslah memuat Verordnung dan Autonome Satzung yang mana dalam pelaksanaannya bersumber dari atribusi kewenangan dan delegasi kewenangan dari norma hukum yang berada diatasnya, dalam hal ini adalah undang-undang. Untuk peraturan perundang-undangan di Indonesia, Verordnung dan Autonome Satzung ini dapat ditemukan pada Peraturan Pemerintah (PP) sebagaimana yang diatur dalam pasal 5 ayat 2 UUD NRI 1945 yang mana Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Kemudian untuk melengkapi peraturan perundang-undangan di Indonesia, dalam UU yang mengatur mengenai hal tersebut seharusnya disebutkan dengan jelas apabila terdapat tambahan peraturan perundang-undangan lainnya yang berasal dari lembaga negara atau pemerintah yang mendapat katribusi kewenangan ataupun delegasi kewenangan seperti halnya Bank Indonesia yang dapat membuat Peraturan Bank Indonesia (PBI) atas dasar Pasal 1 angka 8 dalam UU No. 23 tahun 1999 yang telah diubah dengan UU no. 3 tahun 2004 jo. Pasal 23 D UUD NRI 1945 amandemen, melalui atribusi kewenangan. Ataupun Gubernur sebagai pemerintah daerah yang memperoleh delegasi kewenangan untuk membuat peraturan perundang-undangan.Dan oleh karena Verordnung dan Autonome Satzung berasal dan bersumber dari norma hukum di atasnya, maka bentuk dan isinya tak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar